BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Ditengah kelesuan dan keterpurukan ekonomi nasional,
datanglah sebuah sistem bisnis yang banyak menjanjikan dan keberhasilan serta
menawarkan kekayaan dalam waktu singkat. Sistem ini kemudian dikenal dengan
istilah Multi Level Marketing (MLM) atau Networking Marketing. Banyak orang
yang bergabung kedalamnya, baik dari kalangan orang-orang awam ataupun dari
kalangan penuntut ilmu, bahkan dari berita yang sampai kepada kami ada sebagian
pondok pesantren yang mengembangkan sistem ini untuk pengembangan usaha
pesantren. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah bisnis dengan model semacam
ini diperbolehkan secara syar’i ataukah tidak,
Sebuah permasalahan yang tidak mudah untuk menjawabnya, karena ini
adalah masalah aktual yang belum pernah disebutkan secara langsung dalam
litelatur para ulama’ kita. Namun alhadulillah Allah telah menyempurnakan
syari’at islam ini untuk bisa menjawab semua permasalahan yang akan terjadi
sampai besok hari kiamat dengan berbagai nash dan kaedah-kaedah umum tentang
masalah bisnis dan ekonomi. Maka dari sinilah pemakalh akan mencoba merumuskan
beberap rumusan supaya dapat memahami
lebih lanjut lagi.
2. Rumusan masalah
1. Bagaimana sebenarnya multilevel marketing yang terjadi di kalangan
masyarakat tersebut?
2. Dan bagaimankah akad-akad yang
ada pada multilevel marketing tersebut ?
3. Dan apakah multilevel marketing
tesebut didalam hukum syari’at di perbolehkan?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Multilevel
marketing secara harfiah adalah pemasaran yang dilakukan melalui banyak
level atau tingkatan, yang biasanya dikenal dengan istilah up line
(tingkat atas) dan down line (tingkat bawah). Up line dan down
line umumnya mencerminkan hubungan pada dua level yang berbeda atas dan
bawah, maka seseorang disebut up line jika mempunyai down line,
baik satu maupun lebih. Bisnis yang menggunakan multilevel marketing ini
memang digerakkan dengan jaringan, yang terdiri dari up line dan down
line. Meski masing-masing perusahaan dan pebisnisnya menyebut dengan
istilah yang berbeda-beda. Demikian juga dengan bentuk jaringannya, antara satu
perusahaan dengan yang lain, mempunyai aturan dan mekanisme yang berbeda; ada
yang vertikal, dan horisontal. Misalnya, Gold Quest dari satu orang disebut
TCO (tracking centre owner), untuk mendapatkan bonus dari perusahaan,
dia harus mempunyai jaringan; 5 orang di sebelah kanan, dan 5 orang di sebelah
kiri, sehingga baru disebut satu level. Kemudian disambung dengan level-level
berikutnya hingga sampai pada titik level tertentu ke bawah yang telah
ditetapkan oleh perusahaan. Masing-masing level tersebut kemudian mendapatkan
bonus (komisi) sesuai dengan ketentuan yang dibuat oleh perusahaan yang
bersangkutan. Meski perusahaan ini tidak menyebut dengan istilah multilevel
marketing, namun diakui atau tidak, sejatinya praktek yang digunakan adalah
praktek multilevel marketing.
Demikian halnya dengan praktek pebisnis yang lainnya dengan
aturan dan mekanisme yang berbeda. Misalnya, dari atas ke bawah, tanpa ditentukan
struktur horizontalnya, tetapi langsung dari atas ke bawah. Setelah itu,
masing-masing level tadi mendapatkan bonus dari perusahaan yang bersangkutan
sesuai dengan ketentuan yang dipatok oleh masing-masing perusahaan yang
diikutinya,
Untuk masuk dalam jaringan bisnis pemasaran seperti ini,
biasanya setiap orang harus menjadi member (anggota jaringan) – ada juga
yang diistilahkan dengan sebutan distributor -; kadangkala membership
tersebut dilakukan dengan mengisi formulir membership dengan membayar
sejumlah uang pendaftaran, disertai dengan pembelian produk tertentu agar member
tersebut mempunyai point, dan kadang tanpa pembelian produk. Dalam hal ini,
perolehan point menjadi sangat penting, karena kadangkala suatu perusahaan multilevel
marketing menjadi point sebagai ukuran besar kecilnya bonus yang diperoleh.
Point tersebut bisa dihitung berdasarkan pembelian langsung, atau tidak
langsung. Pembelian langsung biasanya dilakukan oleh masing-masing member,
sedangkan pembelian tidak langsung biasanya dilakukan oleh jaringan member tersebut. Dari sini, kemudian ada istilah
bonus jaringan. Karena dua kelebihan inilah, biasanya bisnis multilevel
marketing ini diminati banyak kalangan. Ditambah dengan potongan harga yang
tidak diberikan kepada orang yang tidak menjadi member.
Namun,
ada juga point yang menentukan bonus member ditentukan bukan oleh
pembelian baik langsung maupun tidak, melainkan oleh referee (pemakelaran)
– sebagaimana istilah mereka – yang dilakukan terhadap orang lain, agar orang
tersebut menjadi member dan include di dalamnya pembelian produk.
Dalan hal ini, satu member Gold Quest harus membangun formasi 5-5
untuk satu levelnya, dan cukup sekali pendaftaran diri menjadi membership,
maka member tersebut tetap berhak mendapatkan bonus. Tanpa dihitung
lagi, berapa pembelian langsung maupun tak langsungnya. Pada prinsipnya tidak
berbeda dengan perusahaan lain. Seorang member /distributor harus
menseponsori orang lain agar menjadi member/distributor dan orang ini
menjadi down line dari orang yang menseponsorinya (up line-nya).
Begitu seterusnya up line “harus” membimbing down line-nya untuk
mensponsori orang lain lagi dan membentuk jaringan. Sehingga orang yang menjadi
up line akan mendapat bonus jaringan atau komisi kepemimpinan. Sekalipun
tidak ditentukan formasi jaringan horizontal maupun vertikalnya.
2.
Fakta Umum
Multilevel Marketing
Dari paparan di atas, jelas menunjukkan bahwa multilevel
marketing – sebagai bisnis pemasaran --- tersebut adalah bisnis yang
dibangun berdasarkan formasi jaringan tertentu; bisa top-down
(atas-bawah) atau left-right (kiri-kanan), dengan kata lain, vertikal
atau horizontal; atau perpaduan antara keduanya. Namun formasi seperti ini
tidak akan hidup dan berjalan, jika tidak ada benefit (keuntungan), yang
berupa bonus. Bentuknya, bisa berupa (1) potongan harga, (2) bonus pembelian
langsung, (3) bonus jaringan – istilah lainnya komisi kepemimpinan -. Dari
ketiga jenis bonus tersebut, jenis bonus ketigalah yang diterapkan di hampir
semua bisnis multilevel marketing, baik yang secara langsung menamakan
dirinya bisnis MLM ataupun tidak ,seperti Gold Quest. Sementara bonus
jaringan adalah bonus yang diberikan karena faktor jasa masing-masing member
dalam membanguan formasi jaringannya. Dengan kata lain, bonus ini diberikan kepada
member yang bersangkutan, karena telah berjasa menjualkan produk
perusahaan secara tidak langsung. Meski, perusahaan tersebut tidak
menyebutkan secara langsung dengan istilah referee (pemakelaran) seperti
kasus Gold Quest, - istilah lainnya sponsor, promotor – namun pada
dasarnya bonus jaringan seperti ini juga merupakan referee
(pemakelaran).
Karena
itu, posisi member dalam jaringan MLM ini, tidak lepas dari dua posisi :
(1) pembeli langsung, (2) makelar. Disebut pembeli langsung manakala sebagai member,
dia melakukan transaksi pembelian secara langsung, baik kepada perusahaan
maupun melalui distributor atau pusat stock. Disebut makelar, karena dia telah
menjadi perantara – melalui perekrutan yang telah dia lakukan – bagi orang lain
untuk menjadi member dan membeli produk perusahaan tersebut. Inilah
praktek yang terjadi dalam bisnis MLM yang menamakan multilevel marketing,
maupun refereal business.
Dari sini, kasus tersebut bisa dikaji berdasarkan dua fakta
di atas, yaitu fakta pembelian langsung dan fakta makelar. Dalam prakteknya,
pembelian langsung yang dilakukan, disamping mendapatkan bonus langsung, berupa
potongan, juga point yang secara akumulatif akan dinominalkan dengan sejumlah
uang tertentu. Pada saat yang sama, melalui formasi jaringan yang dibentuknya,
orang tersebut bisa mendapatkan bonus tidak langsung. Padahal, bonus yang kedua
merupakan bonus yang dihasilkan melalui proses pemakelaran, seperti yang telah
dikemukakan.
3. Hukum Syara’ Seputar Dua Akad dan Makelar
Dari fakta-fakta umum yang telah dikemukakan di atas, bisa
disimpulkan bahwa praktek multilevel marketing tersebut tidak bisa
dilepaskan dari dua hukum, bisa salah satunya, atau kedua-duanya sekaligus:
1.
Hukum dua akad
dalam satu transaksi, atau yang dikenal dengan istilah shafqatain fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Akad
pertama adalah akad jual-beli (bay’), sedangkan akad kedua akad samsarah
(pemakelaran).
2.
Hukum
pemakelaran atas pemakelaran, atau samsarah
‘ala samsarah. Up line atau TCO , adalah simsar
(makelar), baik bagi pemilik (malik) langsung, atau tidak, yang kemudian
memakelari down line di bawahnya, dan selanjutnya down line di
bawahnya menjadi makelar bagi down line di bawahnya lagi.
Dan
adapun hal-hal yang bisa membuat sebuah
transaksi bisnis menjadi haram adalah :
1.
Mengandung riba
2.
Ghoror
3.
Mengandung
penipuan
4.
Perjudian atau
adu nasib
5.
Kedholiman
6.
Yang dijual
adalah barang haram
4. Hukum Dua Akad dan Makelar dalam Praktek MLM
Mengenai status MLM, maka dalam hal ini perlu
diklasifikasikan berdasarkan fakta masing-masing. Dilihat dari aspek shafqatayn
fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, maka bisa disimpulkan:
1.
Ada MLM yang
membuka pendaftaran member, yang untuk itu orang yang akan menjadi member
tersebut harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member –
apapun istilahnya, apakah membeli posisi ataupun yang lain – disertai membeli
produk. Pada waktu yang sama, dia menjadi referee (makelar) bagi
perusahaan dengan cara merekrut orang, maka praktek MLM seperti ini, jelas
termasuk dalam kategori hadits : shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn
fi bay’ah. Sebab, dalam hal ini, orang tersebut telah melakukan transaksi
jual-beli dengan pemakelaran secara bersama-sama dalam satu akad. Maka, praktek
seperti ini jelas diharamkan sebagaimana hadits di atas.
2.
Ada MLM yang
membuka pendaftaran member, tanpa harus membeli produk, meski untuk itu
orang tersebut tetap harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member.
Pada waktu yang sama membership (keanggotaan) tersebut mempunyai dampak
diperolehnya bonus (point), baik dari pembelian yang dilakukannya di kemudian
hari maupun dari jaringan di bawahnya, maka praktek ini juga termasuk dalam
kategori shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab,
membership tersebut merupakan bentuk akad, yang mempunyai dampak tertentu.
Dampaknya, ketika pada suatu hari dia membeli produk – meski pada saat
mendaftar menjadi member tidak melakukan pembelian – dia akan
mendapatkan bonus langsung. Pada saat yang sama, ketentuan dalam membership
tadi menetapkan bahwa orang tersebut berhak mendapatkan bonus, jika jaringan di
bawahnya aktif, meski pada awalnya belum. Bahkan ia akan mendapat bonus (point)
karena ia telah mensponsori orang lain untuk menjadi member. Dengan
demikian pada saat itu ia menandatangani dua akad yaitu akad membership
dan akad samsarah (pemakelaran).
3.
Pada saat yang
sama, MLM tersebut membuka membership tanpa disertai ketentuan harus
membeli produk, maka akad membership seperti ini justru merupakan akad
yang tidak dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara, zat dan jasa. Tetapi,
akad untuk mendapad jaminan menerima bonus, jika di kemudian hari membeli
barang. Kasus ini, persis seperti orang yang mendaftar sebagai anggota
asuransi, dengan membayar polis asuransi untuk mendapatkan jaminan P.T.
Asuransi. Berbeda dengan orang yang membeli produk dalam jumlah tertentu,
kemudian mendapatkan bonus langsung berupa kartu diskon, yang bisa digunakan
sebagai alat untuk mendapatkan diskon dalam pembelian selanjutnya. Sebab, dia
mendapatkan kartu diskon bukan karena akad untuk mendapatkan jaminan, tetapi
akad jual beli terhadap barang. Dari akad jual beli itulah, dia baru
mendapatkan bonus. Dan karenanya, MLM seperti ini juga telah melanggar
ketentuan akad syar’i, sehingga hukumnya tetap haram.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Inilah fakta, dalil-dalil, pandangan ulama’ terhadap fakta
dalil serta status tahqiq al-manath hukum MLM, dilihat dari aspek
muamalahnya. Analisis ini berpijak kepada fakta aktivitasnya, bukan produk
barangnya, yang dikembangkan dalam bisnis MLM secara umum. Jika hukum MLM
dirumuskan dengan hanya melihat atau berpijak pada produknya – apakah halal
ataukah haram – maka hal itu justru
meninggalkan realita pokoknya, karena MLM adalah bentuk transaksi (akad)
muamalah. Oleh karenanya hukum MLM harus dirumuskan dengan menganalisis
keduanya, baik akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi)
maupun produknya. Mengenai akad (transaksi yang ada dalam MLM telah dijelaskan
dalam paparan di atas.
Adapun dari aspek produknya, memang ada yang halal dan
haram. Meski demikian, jika produk yang halal tersebut diperoleh dengan cara
yang tidak syar’i, maka akadnya batil dan kepemilikannya juga tidak sah.
Sebab, kepemilikan itu merupakan izin yang diberikan oleh pembuat syariat (idzn
asy-syari’) untuk memanfaatkan zat atau jasa tertentu. Izin syara’ dalam
kasus ini diperoleh, jika akad tersebut dilakukan secara syar’i, baik dari
aspek muamalahnya, maupun barangnya.
Dengan melihat
analisis di atas maka sekalipun produk yang diperjual-belikan adalah halal,
akan tetapi akad yang terjadi dalam bisnis MLM adalah akad yang melanggar
ketentuan syara’ baik dari sisi shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam
satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas
pemakelaran); pada kondisi lain tidak memenuhi ketentuan akad karena yang ada
adalah akad terhadap jaminan mendapat diskon dan bonus (point) dari pembelian
langsung; maka MLM yang demikian hukumnya adalah haram. Namun, jika ada MLM
yang pdouknya halal, dan dijalankan sesuai dengan syariat Islam; tidak
melanggar shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah
‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran). Serta ketentuan hukum syara’
yang lain, maka tentu diperbolehkan.